Menjadi orangtua cerdas

Berjuang Menjadi Orangtua Cerdas

Berawal dari keprihatinan menghadapi situasi masa kini, sebagian orangtua bersatu membentuk komunitas. Tekadnya sederhana, mencerdaskan sesama orangtua agar terhindar dari ”kesesatan”. Mereka berusaha menjadi orangtua kritis yang tak begitu saja menerima resep dokter, atau terbujuk iklan.

Mungkin beginilah paradoks zaman modern, ketika arus kehidupan dikendalikan konsumerisme. Kekuatan bujukan iklan sering kali membuat seseorang merasa tak berdaya. Apalagi bagi orang yang tak punya akses cukup untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai produk tersebut. Kalau sudah begini, apa yang diklaim dalam iklan sering kali menjadi hal yang dipercaya begitu saja.
”Anak-anak sering menjadi obyek penderita kesalahpahaman. Sebab itu, yang dicerahkan harus orangtuanya. Dengan mailing list, kami bergerilya,” tutur Purnamawati S Pujiarto SpAK, MMPed yang mengampanyekan penggunaan obat secara rasional (rational use of drug/RUD) kepada konsumen medis.
Selama tiga tahun terakhir ini, Wati, demikian sapaannya, berusaha membina dan mencerdaskan para orangtua melalui komunitas maya yang diberi nama Grup Sehat. Moto komunitas ini ”be smarter be healthier”. Upayanya, yang telah tahunan dirintis, didukung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ibu empat anak ini juga menjadi salah satu konsultan WHO.
Kini, pada mailing list sehat@yahoogroups.com telah tercatat 3.218 anggota dari penjuru Indonesia hingga yang bermukim di luar negeri. Para orangtua dapat berkonsultasi bebas dengan Wati dan sejumlah dokter lain, sampai dibimbing mempelajari ilmu kesehatan terkini dari berbagai situs terpercaya.
Pujiati (29), yang tinggal di Surabaya, dulu kerap bolak-balik ke dokter anak karena putranya, Bagas (24 bulan), sering sakit. Setiap kali sakit Bagas selalu diberi antibiotik serta obat berbentuk puyer. Ketika itu dia belum paham, antibiotik tak diperlukan untuk pengobatan batuk pilek pada anak-anak yang umumnya disebabkan virus.
Virus dapat dilawan dengan meningkatkan daya tahan tubuh. Kalau penyakit itu disebabkan bakteri, baru diperlukan antibiotik. Sebagian dokter bahkan sering memberikan antibiotik paling ampuh, mahal, yang sebenarnya justru antibiotik spektrum luas (broad spectrum). Akibatnya, beragam bakteri yang tergolong baik pun turut tergilas.
”Setelah bergabung dengan Grup Sehat, saya baru menyadari semua praktik itu kelirumologi alias salah. Kini, kunjungan ke dokter anak sangat jarang, dan anak saya sehat. Kalau batuk pilek cukup home treatment saja. Banyak minum air putih hangat, makan makanan yang disukainya, dan istirahat. Kalau demam, saya kompres dia dengan air hangat atau minum obat penurun panas saja. Enggak perlu antibiotik dan suplemen,” tutur Pujiati.
Tak mudah bagi Pujiati menularkan pengetahuan itu kepada suaminya. Sang suami malah sempat mengira komunitas yang diikutinya beraliran aneh. Orang awam memang kerap mengira komunitas ini anti-obat, anti-antibiotik, bahkan anti-dokter. Padahal sama sekali tidak. Koridor konsep RUD-lah yang menjadi pegangan Grup Sehat.
”Antibiotik itu anugerah kehidupan, harus dieman-eman (disayang-sayang). Ketika kita betul-betul membutuhkan antibiotik, dia adalah penyelamat jiwa,” ujar Wati yang kini mendirikan Yayasan Orang Tua Peduli.
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional justru memunculkan bermacam bakteri yang bermutasi, dan resisten terhadap antibiotik (superbugs). Sementara penemuan antibiotik baru tidaklah secepat perkembangan munculnya bakteri baru. Semakin sering menggunakan antibiotik secara tak rasional, malah menyebabkan anak sering jatuh sakit. Belum lagi risiko seperti gangguan hati pada anak, seperti kerap ditemukan Wati, yang juga ahli hepatologi anak ini.
Proses menyenangkan
Selain RUD, para anggota komunitas juga memperoleh informasi obyektif menyangkut pemenuhan gizi anak, serta problem klasik seperti anak susah makan. Tipikal sebagian orangtua masa kini yang tergopoh-gopoh menjejali anak dengan obat ketika jatuh sakit biasanya diikuti pula dengan memberi anak berbagai suplemen penambah nafsu makan dan susu formula.
”Beredarnya susu bubuk yang mengklaim bisa menjadi pengganti makanan lengkap juga banyak dipahami orangtua secara sesat. Padahal, makan itu proses belajar, eksplorasi, yang penuh dengan unsur hiburan. Sebagian orangtua sering mengambil cara praktis ketimbang bereksperimen dengan menu agar disukai anak,” kata Wati.
Gempuran iklan susu formula di media massa juga dapat mendoktrin sebagian orangtua bahwa anak harus minum susu formula. Padahal, bayi hingga usia enam bulan harus eksklusif minum air susu ibu (ASI). Usia di atas satu tahun, selain ASI, bayi cukup diberi susu sapi cair tanpa pengawet, yang telah disterilisasi dengan teknik ultrahigh temperature (UHT) atau pasteurisasi. Aneka susu yang menyebut ditambahi berbagai zat penting untuk perkembangan otak hanyalah klaim yang tidak berlandaskan prinsip ilmiah evidence based medicine (EBM).
”Di luar negeri, anak di atas satu tahun masih minum formula akan ditertawakan tenaga medis. Di atas satu tahun, susu bukan segalanya. Gizi anak terutama dari makanan. Orangtua harus paham piramida makanan. Siapa bilang anak harus gemuk, yang penting anak itu sehat,” tutur Wati yang prihatin dengan praktik pemasaran susu formula yang, menurut dia, semakin tak etis.
Yosi Kusuma Ningrum (27) mengaku dulu sempat termakan iklan susu formula. Susu berharga ratusan ribu rupiah itu dibelinya demi sang buah hati. Agen pemasaran susu formula kerap meneleponnya, membujuk dia agar anaknya diberi susu formula supaya gemuk.
”Sekarang enggak lagi. Mendingan uangnya ditabung untuk pendidikan anak kelak. Tetapi orang-orang, bahkan keluarga sendiri, sering sinis. Mereka bilang, kok anakku dikasih susu murah, padahal kedua orangtuanya bekerja,” ujar Yosi, ibu seorang anak yang tinggal di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.
Tanpa tes alergi
Sebagian dokter pun sering kali terlalu mudah mendiagnosis seorang anak alergi susu sapi, tanpa melakukan tes alergi terlebih dahulu. Pujiati pernah mengalami hal ini, dan memberi anaknya susu bubuk kedelai yang harganya relatif lebih mahal. Nyatanya, setelah tak lagi minum susu bubuk kedelai pun, anaknya tak bermasalah.
Anak Pujiati dan Yosi yang meminum susu sapi biasa tetap sehat, lincah, dan mudah buang air besar meskipun mereka sama sekali tidak lagi mengonsumsi suplemen vitamin dan penambah nafsu makan.
Hal krusial lain dalam masalah kesehatan anak adalah imunisasi. Kesalahpahaman seputar imunisasi kerap terjadi, mulai dari isu autisme hingga pemberian imunisasi secara tunggal. Beragam riset seperti WHO, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan Institute of Medicine (IOM) telah menegaskan vaksinasi measles, mumps, rubella (MMR) tidak berkorelasi dengan autisme. Bayi dan anak-anak pun dianjurkan divaksinasi secara simultan sehingga meminimalkan kunjungan ke dokter, mengurangi risiko tertular penyakit di rumah sakit, serta anak cepat terbentengi imunitasnya.
Belum lagi dokter yang ”bereksperimen” dengan meresepkan obat yang tidak perlu untuk mengurangi efek demam dari imunisasi.
”Anak saya pernah diresepkan luminal setelah imunisasi DPT (difteri-pertusis-tetanus). Padahal, luminal itu obat penenang saraf. Katanya, biar orangtua enggak repot,” tutur Alia Indardi (34), ibu dari tiga anak, yang tinggal di Jatiwaringin, Bekasi.
Alia lantas mengatakan kepada dokter tersebut bahwa dia tidak akan menebus obat itu. Alasannya, dampak demam dari imunisasi adalah gejala yang normal. Jika anaknya terganggu dengan demam tersebut, pemberian obat penurun panas saja sudah mencukupi.
Untuk anak yang sedang kejang saja, luminal sudah tidak direkomendasikan lagi. ”Coba kalau pasiennya tidak memiliki informasi yang cukup dan berimbang, kan pasti sudah langsung menurut saja. Jadilah anak itu dikasih obat penenang saraf,” ujar Alia. (kompas.com)
Sumber : SARIE FEBRIANE
Published in: on May 29, 2008 at 2:38 am  Leave a Comment  

Wise Word

WISE WORDS

From: Jane Hanna Tambun

 

Karakter lebih berharga daripada bakat.

 

Kesetiaan adalah batu penjuru bagi karakter.

 

Tuhan mempunyai komitmen kepada orang-orang yang setia, sehingga Ia memberi kemampuan kepada mereka.

 

Kemurahan hati adalah kebajikan yang menarik orang lain kepada seseorang.

 

Semakin kuat seorang pria, semakin lembut.

 

Karakteristik sebuah kerajaan dilihat dari karakter rajanya.

 

Pria dan bangsa tidak dibesarkan oleh kebajikan akan kekayaannya, melainkan oleh kekayaan akan kebajikannya.

 

Penipuan akan menghasilkan penyangkalan; lalu kekacauan dan akhirnya kehancuran.

 

Bila Anda tertipu, itu berarti Anda bisa ditaklukkan.

 

Semua perilaku yang salah berasal dari kepercayaan yang salah.

 

Hanya ada tiga metode dasar komunikasi, yaitu perkataan, bahasa tubuh dan hati.

 

Seni komunikasi tidaklah terletak pada kemampuan untuk berbicara, melainkan pada kemampuan untuk mendengar.

 

Emosi mengikuti tindakan.

Untuk mengubah emosi Anda, ubahlah tindakan Anda.

Published in: on May 28, 2008 at 7:19 am  Leave a Comment  

Ramalan tentang Ciuman

Gaya Berciuman Menurut Zodiac

 

Ternyata bukan cuma masalah kepribadian saja yang bisa ditilik lewat astrologi. Karena yang namanya gaya berciuman seseorang pun, baik itu yang romantis, hangat atau bahkan kasar sekalipun, bisa diketahui lewat bintangnya lho! Penasaran ingin segera mencocokkan bintang dengan gaya berciuman Anda? Simak saja yang berikut ini:

 

Aries

Orang-orang Aries ternyata memiliki gaya berciuman yang cepat dan penuh dengan nafsu. Tapi sayangnya ciuman dahsyat tersebut biasanya cepat pula selesainya

 

Taurus

Berbeda dengan mereka yang berada di bawah naungan Taurus, dimana ciuman mereka umumnya berlangsung sangat perlahan, tidak tergesa-gesa, tenang, penuh kemesraan dan berlangsung terus…terus…dan terus.

 

Gemini

Orang-orang Gemini konon merupakan pribadi yang hangat dan ceria. Tidak heran jika gaya berciuman mereka terkadang diselingi oleh senyuman bahkan juga tawa lebar. Asyiknya, sifat warga Gemini yang terkenal gemar melakukan sesuatu yang baru itu pun dilakukannya dalam melakukan ciuman. Jadi banyak kejutannya!

 

Cancer

Warga Cancer memang terkenal dengan sikapnya yang hati-hati, agak tertutup dan cenderung ingin selalu dilindungi. Tak heran jika dalam urusan berciuman mereka lebih suka melakukannya dengan lembut, hangat, dan seperti tidak mau lepas saja!

 

Leo

Orang-orang Leo yang terkenal keras dan tegas ternyata memiliki gaya berciuman yang liar, tanpa malu-malu, bahkan tidak segan-segan untuk menggigit dan mencakar! Pun warga bintang berlambang singa ini ternyata sangat senang jika mendapat pujian dari pasangannya, utamanya pujian atas gairahnya yang luar biasa.

 

Virgo

Warga Virgo memiliki gaya berciuman yang halus, lembut, rapi, sampai-sampai sang pasangan pun bakal terkesima dibuatnya.

 

Libra

Gaya berciuman warga Libra konon kurang hangat! Kenapa? Karena mereka pada umumnya terlalu khawatir dengan urusan macam-macam di luar hasrat mereka. Belum lagi, mereka gemar menghela nafas di tengah-tengah ciuman.

 

Scorpio

Percaya atau tidak, orang-orang di bawah naungan Scorpio rupanya tidak terlalu suka dengan ciuman. Karenanya, jangan kaget apabila dalam sebuah hubungan intim mereka kerap melewatkan aktifitas yang satu itu dan lebih suka langsung menuju sasaran.

 

Sagitarius

Hmmm…berbahagialah Anda yang berbintang Sagitarius atau pun yang memiliki pasangan dengan bintang ini. Pasalnya, mereka yang berbintang dengan lambang busur panah ini memiliki gaya berciuman yang mengejutkan, spontan, dan…menggairahkan. Tak heran jika konon banyak orang yang menanti-nanti ciuman ala si Sagitarius ini. 🙂

 

Capricorn

Ciuman-ciuman yang didaratkan oleh orang-orang berbintang Capricorn kabarnya sangat-sangat romantis. Bahkan saking romantisnya, ciuman ala mereka kerap menjadi obat pembunuh stress!

 

Aquarius

Sesuai dengan lambangnya, air, warga Aquarius ternyata memiliki ciuman yang basah dan agak serabutan. Selain itu, pada saat ciuman berlangsung mereka umumnya cenderung membuka mata lebar-lebar.

 

Pisces

Orang-orang dengan bintang berlambang ikan ini memiliki gaya berciuman pandangan mata tajam, penuh nafsu dan gairah, serta wow…berlangsung cukup lama!

 

Bagaimana, apakah gaya berciuman Anda ternyata sesuai dengan bintang Anda?

Published in: on May 28, 2008 at 7:13 am  Leave a Comment  

Dunia Pendidikan

Ketika pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin “sulit” dan “rumit”. Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru. Dan sudah pasti, hanya guru yang memiliki “jam terbang” tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, de-el-el. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.

 

Pada awalnya sih program sertifikasi guru didesain ideal dan “ndakik-ndakik”. Simak saja pernyataan “Sekapur Sirih” Dr. Zamroni, Direktur Profesional Pendidik, dalam situs http://www.sertifikasiguru.org/ berikut ini.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan telah merencanakan program kegiatan dengan menggunakan dana APBNP Tahun 2006 untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD). Program tersebut antara lain pelaksanaan sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi guru, pendidikan di daerah terpencil, dan maslahat tambahan (penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan beasiswa bagi putra-putri guru berprestasi/berdedikasi).

Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat sertifikat pendidik. Dalam APBNP-P tahun 2006, Depdiknas menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap 20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru-guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) yang telah memenuhi persyaratan.

Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru yang profesional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan dapat mengikuti uji sertifikasi setelah memperoleh ijasah S1/D4 serta mengikuti pendidikan profesi. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi bagi guru-guru SD dan SMP dengan menggunakan dana APBNP tahun 2006 merupakan salah satu wujud implementasi UUGD.

Berkaitan dengan maslahat tambahan, UU No. 14 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa, “maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain”. Salah satu bentuk maslahat tambahan yang diprogramkan adalah pemberian penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan pemberian beasiswa pendidikan bagi putra-putri guru berprestasi/ berdedikasi.

Simak juga tulisan saya “Latar Belakang Sertifikasi Guru“.

Namun, ketika UUGD sudah diluncurkan, sedangkan PP-nya dibikin “ngadad”, desain ideal dan “ndakik-ndakik” semacam itu banyak menimbulkan tanda tanya. (Simak juga tulisan saya “MAMPUKAH SERTIFIKASI GURU MENDONGKRAK MUTU PENDIDIKAN?)

Secara jujur harus diakui, implementasi program sertifikasi para “Oemar Bakrie” ini sangat rentan terhadap ulah manipulasi, kecurangan, nepotisme, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya. Rekruitmen guru yang berhak mengikuti uji sertifikasi hanya mereka yang memiliki hubungan kedekatan dengan “lingkaran” birokrat pendidikan di tingkat lokal. Apalagi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah senioritas alias masa kerja. Para guru “yunior” yang sarat prestasi pun bisa jadi akan tersingkir.

Jika praktik-praktik tak terpuji semacam itu dibiarkan terus terjadi dalam dinamika dunia pendidikan kita, maka peningkatan mutu pendidikan yang menjadi rencana strategis (Renstra) Depdiknas dan gencar digembar-gemborkan secara masif di berbagai media itu hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Apalagi kalau guru-guru muda potensial –yang seharusnya layak untuk menerima penghargaan dan kesejahteraan memadai dan bisa “diambil hati”-nya untuk ikut memperbaiki carut-marutnya dunia pendidikan– sengaja “disingkirkan”, jangan harapkan pamor pendidikan di tanah air kita tercinta ini mampu bersinar terang di tengah-tengah masyarakat global dan mondial. Belum lagi dampak “kecemburuan sosial” antarguru di tingkat sekolah. Mereka yang telah mengantongi sertifikat pendidik bisa jadi akan tertimpa beban sosial yang lebih berat. Semangat pengabdian dan loyalitas guru yang belum memiliki sertifikat akan mengendur dan –ini dampak yang lebih buruk– menyerahkan semua tugas kependidikan di sekolah kepada guru yang telah duduk di atas “singgasana” sertifikat pendidik dengan segenap fasilitas kesejahteraannya. Bukankah ini sebuah implikasi sosial yang perlu dipikirkan secara serius oleh para pengambil kebijakan pendidikan kita?

Sertifikasi guru di negeri kita, agaknya akan menjadi sebuah “Indonesia” yang tertinggal ketika program “prestisius” itu hanya akan menciptakan kegelisahan dan kerumitan baru. Apalagi jika tidak diimbangi dengan kalkulasi anggaran yang cermat dan memadai. Atau, jangan-jangan lambatnya uji sertifikasi guru dan “penyingkiran” guru-guru “yunior” itu lantaran tidak tersedianya anggaran untuk mengangkat harkat, martabat, dan citra guru? Kalau itu “asbabunnuzul”-nya, betapa sosok guru selama ini memang hanya diposisikan untuk menjadi “kelinci percobaan” seperti dalam praktik pelaksanaan kurikulum yang sering kali berubah-ubah itu?

Kalau memang para pengambil kebijakan pendidikan memiliki “kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan guru, idealnya program sertifikasi guru dilaksanakan secara terbuka. Berikan kesempatan kepada semua guru, baik negeri maupun swasta, untuk mengikutinya. Biarkan mereka berkompetisi secara fair dan terbuka melalui proses ujian. Kalau memang mereka gagal meraih sertifikat pendidik, mereka pasti bisa menerima dengan sikap lapang dada. Jika untuk mengikuti ujian saja mesti dibikin rumit karena harus mengumpulkan dokumen portofolio yang bejibun jumlahnya itu, jangan salahkan guru kalau mereka jadi “alergi” terhadap program sertifikasi guru. Yang lebih mencemaskan, kalau sampai guru kehilangan komitmen dan kepedulian untuk ikut “mendongkrak” mutu pendidikan kita. Kalau kekhawatiran ini benar, maka “musibah” besar yang akan melanda dunia pendidikan kita hanya menunggu waktu. *** <dikutip sesuai naskah asli karya Sawali Tuhusetya>

Published in: on May 28, 2008 at 7:10 am  Leave a Comment  

Guruku Idolaku

Memang tulisan ini sengaja tidak diterbitkan pada tanggal 2 Mei yang merupakan hari pendidikan. Karena pendidikan tidak pernah berhenti. Kita tidak pernah berhenti belajar. Atas dasar itulah tulisan ini bisa saja ditulis kapan saja tanpa harus bertepatan dengan moment hari pendidikan.

Guru memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, dengan adanya guru kita dididik bukan saja pengethauan, melainkan dari segi etika dan moral. Akan tetapi beban yang besar pada guru seringkali tidaklah seimbang dengan reward yang diterima. Jangankan dari segi gaji ataupun tunjangan, penghargaan dari siswanya saja belum tentu didapat. Padahal guru adalah profesi yang mempunyai prestige  sama tingginya dengan hakim, pengacara, dokter, dll.

Seiring dengan telah diakuinya gurusebagai profesi, maka kerja, kewenangan, tugas, jabatan dan fungsi guru harus benar-benar sesuai dengan profesinya, yakni mendidik, mengajar, melatih dan mengembangkan ilmu (ilmuan). Tugas dan kewenangan tersebut hanya bisa diakui sebagai benar apabila ada parameter yang jelas. Artinya menjadi tugas dan kewajiban guru untuk lebih serius meningkatkan kemampuan/kompetensi, keterampilan dan sikap hidup siswanya, sehingga tambah umur, siswa tambah pintar/cerdas, tambah guru tambah semarak pengembangan ilmu, dan tambah penghasilan tambah semarak sekolah dalam penemuan iptek guna memajukan bangsa-masyarakat, dan bukan sebaliknya. Itulah kesadaran “profesi” yang harus hadir di kala kesadaran kesejahteraan meningkat beriringan. 

Semoga saja kesejahteraan guru semakin diperhatikan. Bukan hanya tuntutan masyarakat akan tugas guru yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya syarat kelulusan siswa.

Published in: on May 22, 2008 at 7:24 am  Leave a Comment  
Tags: